Tanggal 10 November diperingatinya hari pahlawan

Image, seperti tahun lalu maka diadakanlah upacara peringatan hari pahlawan, dengan sejenak kita mengheningkan cipta mengenang jasa para pahlawan yang telah mendahului kita. Dahulu pada tanggal 10 November 1945 dikobarkanlah semangat bela Negara oleh bung Tomo, dengan teriakan Allahu Akbaar, Lanjutkan membaca “Tanggal 10 November diperingatinya hari pahlawan”

materi PUBLIC SPEAKING

1. APA ITU PUBLIC SPEAKING
Publik speaking adalah proses berbicara kepada sekelompok orang secara sengaja serta ditujukan untuk menginformasikan, mempengaruhi, atau menghibur pendengar. Seni dan ilmu publik speaking khususnya di lingkungan yang kompetitif di Amerika Utara, juga dikenal sebagai forensics. Kata forensik adalah sebuah kata sifat yang berarti “perdebatan umum atau argumen.” Kata tersebut berasal dari bahasa Latin forensis, yang berarti “dari forum.”
Tujuan utama dari publik speaking dapat dicapai dengan penyampaian informasi dengan sederhana sehingga dapat memotivasi orang untuk bertindak. Seorang orator yang bagus dapat mengubah emosi pendengar mereka, tidak hanya menginformasikan kepada mereka. Lanjutkan membaca “materi PUBLIC SPEAKING”

teknik fotografi dasar dan penerapannya

RENCANA GAMBAR DALAM PRAKTEK FOTOGRAFI

A. RENCANA GAMBAR YANG AKAN DIPEROLEH
Sebuah gambar atau hasil jepretan kamera yang bernilai tinggi dan berkualitas adalah gambar yang berisi pesan. Pesan bisa berupa pernyataan maupun ekspresi yang diperoleh dari hasil jepretan kamera. Pesan yang bagus adalah pesan yang jelas, tegas dan efektif. Tentunya pesan yang disampaikan harus mengena ke hati penikmat foto, seperti sebuah kritik sosial atau pesan kemanusiaan.
Untuk mendapatkan hasil gambar yang baik ada berbagai faktor yang mempengaruhi hasil dan kualitas gambar yang kita ambil dari suatu obyek. Faktor tersebut antara lain kualitas kamera, cahaya, lingkungan dan lokasi pengambilan foto.
Pada pemotretan gambar yang saya ambil ini, memiliki kondisi sebagai berikut : Lanjutkan membaca “teknik fotografi dasar dan penerapannya”

Pendekatan Teori Perilaku (Behavior Theory)

Pendekatan Teori Perilaku (Behavior Theory)
Teori perilaku ini dilandasi pemikiran, bahwa kepemimpinan merupakan integrasi
antara pimpinan dengan pengikutnya, dan dalam interaksi tersebut pengikutlah
yang menganalisis dan mempersepsikan apakan menerima atau menolak
kepemimpinanya.
Pendekatan perilaku menghasilkan dua orientasi yaitu perilaku pemimpin yang
berorientasi pada tugas atau yang mengutamakan penyelesaian tugas dan
pemimpin yang berorientasi pada orang atau yang mengutamakan penciptaan
hubungan manusiawi. Perilaku pemimpin yang berorientasi pada tugas
menampilkan gaya kepemimpinan otoratik, sedangkan perilaku pemimpin yang
berorientasi pada orang menampilkan gaya demokratik atau partisipatif. Pendekatan Teori Situasi (Situation Theory)
Teori situasi mencoba mengembangkan kepemimpinan sesuai dengan situasi dan
kebutuhan. Dalam pandangan ini, hanya pemimpin yang mengetahui situasi dan
kebutuhan organisasi yang dapat menjadi pemimpin yang efektif. Menurut teori
ini, pemimpin yang efektif mempunyai pengaruh motivasi yang positif,
kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya untuk mencapai
tujuan.

Teori Pertukaran Sosial

Teori Pertukaran Sosial

Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964).

 Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”.  Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).  Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya  pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku  di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.  Empat Konsep pokokGanjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini. 

  • Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain. Buat orang kaya mungkin penerimaan sosial lebih berharga daripada uang. Buat si miskin, hubungan interpersonal yang dapat mengatasi kesulitan ekonominya lebih memberikan ganjaran daripada hubungan yang menambah pengetahuan.
  • Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat di dalamnya.
  • Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba. Misalnya, Anda mempunyai kawan yang pelit dan bodoh. Anda banyak membantunya, tetapi hanya sekedar supaya persahabatan dengan dia tidak putus. Bantuan Anda (biaya) ternyata lebih besar daripada nilai persahabatan (ganjaran) yang Anda terima. Anda rugi. Menurut teori pertukaran sosial, hubungan anda dengan sahabat pelit itu mudah sekali retak dan digantikan dengan hubungan baru dengan orang lain.
  • Tingkat perbandingan menunjukkan  ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Ukuran baku ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu, seorang individu mengalami hubungan interpersonal yang memuaskan, tingkat perbandingannya turun. Bila seorang gadis pernah berhubungan dengan kawan pria dalam hubungan yang bahagia, ia akan mengukur hubungan interpersonalnya dengan kawan pria lain berdasarkan pengalamannya dengan kawan pria terdahulu. Makin bahagia ia pada hubungan interpersonal sebelumnya, makin tinggi tingkat perbandingannya, berarti makin sukar ia memperoleh hubungan interpersonal yang memuaskan.

 Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya – makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”. Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial  adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan. 
Pendekatan ObyektifTeori Pertukaran sosial ada di pendekatan objektif. Pendekatan ini disebut “obyektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia yang dapat diamati oleh pancaindra (penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan pembau), dapat diukur dan diramalkan.

Teori Pertukaran sosial beranggapan orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan obyektif cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka. Pendekatan ini juga berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak setepat ramalan perilaku alam. Dengan kata lain, hukum-hukum yang berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probabilistik). Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin) akan mendapatkan nilai lebih baik; kalau kita ramah kepada orang lain, orang lain (mungkin) akan ramah kepada kita; bila suami isteri sering bertengkar, mereka (mungkin) akan bercerai.

 

Sumber:

Modul 4 & Modul 6 Teori Komunikasi Farid Hamid M Si

Teori Pelanggaran Harapan ( Expectancy Violation Theory)


LATAR BELAKANG TEORI

Judee Burgoon ( 1978)  pertamakali merancang teori pelanggaran pengharapan  ( Expectancy Violation Theory) untuk menjelaskan konsekwensi dari perubahan jarak dan ruang pribadi selama interaksi komunikasi antar pribadi.  Theory ini adalah salah satu teori pertama tentang komunikasi  yang dikembangkan oleh sarjana komunikasi.  Theory expct violation secara terus menerus ditinjau kembali dan diperluas; hari ini teori digunakan untuk menjelaskan suatu cakupan luas dari hasil komunikasi yang dihubungkan dengan pelanggaran harapan tentang perilaku komunikasi . (Infante, 2003: 177)

Studi tentang penggunaan ruang dan jarak dalam berkomunikasi atau lebih populer disebut Proksemik sebenarnya telah dikembangkan oleh Edward T. Hall sejak tahun 1960-an. Dalam teorinya, Hall membedakan empat macam jarak yang menurutnya mengambarkan ragam jarak komunikasi yang diperbolehkan dalam kultur Amerika yakni jarak intim (0 – 18 inci), jarak pribadi (18 inci – 4 kaki), jarak sosial (4 -10 kaki), dan jarak publik (lebih dari 10 kaki).

Terkait dengan keempat macam jarak tersebut kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut; Apa yang akan terjadi ketika seseorang menunjukkan tingkah laku  yang mengejutkan atau diluardugaan? atau bagaimana persepsi seseorang terhadap tingkah laku  yang mengejutkan tersebut bila dikaitkan dengan dayatarik antarpribadi?. Berawal dari pertanyaan semacam itulah kemudian Burgoon meneliti perilaku komunikasi  masyarakat Amerika yang menghantarkannya pada penemuan sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai  Expectancy Violation Theory.

ESENSI TEORI

Teori ini bertolak dari keyakinan bahwa kita memiliki harapan­-harapan tertentu tentang bagaimana orang lain sepatutnya berperilaku atau bertindak ketika berinteraksi dengan kita. Kepatutan tindakan tersebut pada prinsipnya diukur berdasarkan norma-norma sosial yang berlaku atau berdasarkan kerangka pengalaman kita sebelumnya (Field of Experience). Terpenuhi tidaknya ekspektasi ini akan mempengaruhi bukan saja cara interaksi kita dengan mereka tapi juga bagaimana penilaian kita terhadap mereka serta bagaimana kelanjutan hubungan kita dengan mereka

Bertolak dari pernyataan diatas kemudian teori ini berasumsi bahwa setiap orang memiliki harapan-harapan tertentu pada perilaku  orang lain. Jika harapan tersebut dilanggar maka orang akan bereaksi dengan memberikan penilaian positif atau negatif sesuai karakteristik pelaku pelanggaran tersebut.

Sebuah contoh kecil mungkin akan memperjelas pemahaman anda tentang asumsi teori ini. Anggaplah anda seorang gadis jujur yang sedang ditaksir dua orang pemuda.. Anda tidak bingung karena jelas anda hanya menyukai salah seorang diantara mereka. Apa yang terjadi ketika pemuda yang anda senangi tersebut menemui anda dan berdiri terlalu dekat sehingga melanggar jarak komunikasi antarpribadi yang diterima secara normatif? Besar kemungkinan anda akan menilainya secara positif. Itulah tanda perhatian yang tulus atau itulah perilaku pria sejati ujar anda. Namun bagaimana halnya bila yang melakukan tindakan tersebut pria yang bukan anda senangi? Anda akan bereaksi secara negatif. Anda akan mengatakan bahwa orang itu tidak tahu sopan santun  atau mungkin dalam hati anda akan berujar “Dasar, kurang ajar. Tidak tahu diri!”

Jadi kita menilai suatu pelanggaran didasarkan pada bagaimana perasaan kita pada orang tersebut. Bila kita menyukai orang tersebut maka besar kemungkinan kita akan menerima pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan menilainya secara positif. Sebaliknya bila sumber pelanggaran dipersepsi tidak menarik atau kita tidak menyukainya maka kita akan menilai pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang negatif.

Menurut perspektif teori ini, beberapa faktor saling berhubungan untuk mempengaruhi bagaimana kita bereaksi terhadap pelanggaran dari jenis perilaku  yang kita harapkan untuk menghadapi situasi tertentu . Ada tiga konstruk pokok dari teori ini yakni; Harapan (Expectancies), Valensi Pelanggaran  (Violations Valence), dan Valensi Ganjaran Komunikator (Communicator Reward Valence) (Griffin, 2004: 88).

Expectancies (Harapan)

Faktor NEV Theory yang pertama mempertimbangkan harapan kita. Melalui norma-norma sosial kita membentuk ” harapan” tentang bagaimana orang lain (perlu) bertindak secara  (dan secara lisan) ketika kita saling berinteraksi dengan mereka. Harapan merujuk pada pola-pola komunikasi yang diantisipasi oleh individu berdasarkan pijakan normatif masing-masing individu atau pijakan kelompok. Jika perilaku orang lain menyimpang dari apa yang kita harapkan secara khas, maka suatu pelanggaran pengharapan telah terjadi. Apapun “yang diluar kebiasaan” menyebabkan kita untuk mengambil reaksi khusus (menyangkut) perilaku itu. Sebagai contoh, kita akan berekasi ( dan mungkin dengan sangat gelisah/tidak nyaman) jika seorang asing meminta berdiri sangat dekat dengan kita. Dengan cara yang sama, kita akan bereaksi lain jika orang  yang penting dengan kita berdiri sangat jauh sekali dari kita pada suatu pesta. Dengan kata lain kita memiliki harapan terhadap tingkah laku  apa yang pantas dilakukan orang lain terhadap diri kita. Jika perilaku  seseorang, ketika berkomunikasi dengan kita, sesuai atau kurang lebih sama dengan pengharapan kita, maka kita akan merasa nyaman baik secara fisik maupun psikologis. Persoalannya adalah tidak selamanya tingkah laku orang lain sama dengan apa yang kita harapkan. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi gangguan psikologis maupun kognitif dalam diri kita baik yang sifatnya positif ataupun negatif. Suatu pelanggaran dari harapan  kita dapat mengganggu ketenangan; hal tersebut dapat menyebabkan bangkitnya suasana emosional. (Infante, 2003: 177)

Kita mempelajari harapan dari sejumlah sumber ( Floyd, Ramirez;& Burgoon, 1999). Pertama, budaya di mana kita tinggal membentuk harapan kita tentang beragam jenis perilaku komunikasi, termasuk komunikasi . Pada budaya yang menganut “contact culture” kontak mata lebih banyak terjadi, sentuhan lebih sering, dan zone jarak pribadi jauh lebih kecil dibanding pada budaya yang menganut “noncontact culture”. Konteks di mana interaksi berlangsung juga berdampak pada harapan tentang perilaku orang lain. Sebagian besar dari kontak mata dari orang lain secara atraktif mungkin dilihat sebagai undangan jika konteks dari interaksi berlangsung dalam pertemuan klub sosial, sedangkan perilaku  yang sama mungkin dilihat sebagai ancaman jika perilaku tersebut diperlihatkan pada penumpang yang berjumlah sedikit di dalam kereta bawah tanah yang datang terlambat pada malam hari. Tergantung pada konteks, “belaian boleh menyampaikan simpati, kenyamanan, kekuasaan, kasih sayang, atraksi, atau … napsu” ( Burgoon, Coker,& Coker, 1986, p. 497). Makna tergantung pada situasi dan hubungan diantara individu-individu. Pengalaman pribadi kita juga mempengaruhi harapan. Kondisi interaksi kita yang berulang akan mengharapkan terjadinya perilaku tertentu. Jika kawan sekamar kita yang biasanya periang tiba-tiba berhenti tersenyum ketika kita masuk kamar, kita menghadapi suatu situasi yang jelas berbeda dengan harapan. NEV Theory menyatakan bahwa harapan “meliputi penilaian tentang perilaku yang mungkin, layak, sesuai, dan khas untuk suasana tertentu, sesuai tujuan, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari  partisipan”( (Bur­goon & Hale, 1988, hal. 60). (Infante, 2003: 178)

Violation Valence (Valensi Pelanggaran)

Ketika harapan  kita dilanggar oleh orang lain, kita kemudian melakukan penafsiran sekaligus menilai apakah pelanggaran tersebut positif atau negatif. Penafsiran dan evaluasi kita tentang perilaku pelanggaran harapan  yang biasa disebut Violation Valenceatau Valensi Pelanggaran adalah elemen kedua yang penting dari teori NEV. NEV Theory berasumsi bahwa perilaku  adalah penuh arti dan kita mempunyai sikap tentang perilaku  yang diharapkan. Kita bersepakat tentang  beberapa hal dan tidak setuju tentang beberapa hal yang lain. Valensi adalah istilah yang digunakan untuk menguraikan evaluasi tentang perilaku. Perilaku tertentu jelas-jelas divalensi secara negatif, seperti perlakuan tidak sopan atau isyarat yang menghina (seseorang, “menghempaskan burung kamu atau memelototkankan matanya pada kamu). Perilaku lain divalensi secara positif (seseorang memberi isyarat “v” untuk kemenangan  karena perbuatan tertentu atau  menga-cungkan ibu jari untuk jaket penghangat barumu).  Sebagai contoh, bayangkan kamu berada di suatu pesta dan seorang asing yang baru diperkenalkan tanpa diduga-duga menyentuh tanganmu. Karena kamu baru saja berjumpa orang itu, perilaku tersebut bisa jadi mengacaukan. Kamu mungkin menginterpretasikan perilaku tersebut sebagai kasih sayang, suatu undangan untuk menjadi teman, atau sebagai suatu isyarat kekuasaan.  Theory pelanggaran harapan berargumen bahwa jika perilaku yang diberikan lebih positif dibanding dengan apa yang diharapkan, hasilnya adalah pelanggaran harapan yang positif. Dan sebaliknya, jika perilaku yang diberikan lebih negatif dibanding dengan apa yang diharapkan, menghasilkan suatu pelanggaran harapan yang negatif. (Infante, 2003: 178). Ini disebut juga Violation Valence atau Valensi Pelanggaran. Violation Valence dikatakan positif bila kita menyukai tindakan pelanggaran tersebut, dan sebaliknya dikatakan negatif jika kita tidak menyukai pelanggaran tersebut

Communicator Reward Valence (Valensi Ganjaran Komunikator)

Valensi Ganjaran Komunikator adalah unsur yang ketiga yang mempengaruhi reaksi kita. Sifat alami hubungan antara komunikator mempengaruhi bagaimana mereka (terutama penerima) merasakan tentang pelanggaran harapan. Jika kita “menyukai” sumber dari pelanggaran ( atau jika pelanggar adalah seseorang yang memiliki status yang tinggi, kredibilitas yang tinggi, atau secara fisik menarik), kita boleh menghargai perlakuan yang unik tersebut. Bagaimanapun, jika kita ” tidak menyukai” sumber, kita lebih sedikit berkeinginan memaklumi perilaku  yang tidak menepati norma-norma sosial; kita memandang pelanggaran secara negatif. (Infante, 2003: 178)

Dengan kata lain jika kita menyukai orang yang melanggar tersebut, kita tidak akan terfokus pada pelanggaran yang dibuatnya, justru kita cenderung berharap agar orang tersebut tidak mematuhi norma-norma yang berlaku. Sebaliknya bila orang yang melanggar tersebut adalah orang yang tidak kita sukai, maka kita akan terfokus pada pelanggaran atau kesalahannya dan berharap orang tersebut mematuhi atau tidak melanggar norma-norma sosial yang berlaku.

Valensi Ganjaran Komunikator adalah keseluruhan sifat-sifat positif maupun negatif yang dimiliki oleh komunikator termasuk kemampuan komunikator dalam memberikan keuntungan/ganjaran atau kerugian kepada kita di masa datang. Status sosial, jabatan, keahlian tertentu atau penampilan fisik yang menarik dari komunikator dianggap sebagai sumber ganjaran yang potensial. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini dalam istilah Burgoon disebut High-Reward Person. Sementara kebodohan atau kejelekan rupa misalnya, dinilai sebagai yang sumber tidak potensial dalam memberikan keuntungan berkomunikasi dan mereka yang berada dalam posisi ini disebut dengan istilah Low-Reward Person. Dalam konstruk Communicator Reward Valence juga tercakup hasil dari kalkulasi atau udit mental tentang apa keuntungan atau kerugian dari suatu transaksi komunikasi dengan orang lain.

Theory pelnggaran harapan mengusulkan sebagai fakta bahwa hal tersebut tidak hanya sesuatu pelanggaran perilaku  dan reaksi kepada nya. Sebagai ganti(nya), Theory ini berargumen bahwa siapa yang melakukan berbagai hal pelanggaran masi harus dikelompokkan dalam rangka menentukan apakah suatu pelanggaran akan dilihat sebagai negatif atau positif. Tidak sama dengan model interaksi  lainnya seperti teori penimbulan pertentangan/discrepancy arousal theory ( lihat Lepoire & Burgoon, 1994), expect violation Theory meramalkan bahkan suatu “pelanggaran yang ekstrim dari suatu harapan” boleh jadi dipandang secara positif jika itu dilakukan oleh komunikator yang mendapat penghargaan tinggi (Burgoon & Hale, 1988, hal.63). (Infante, 2003: 179)

Di samping tiga konstruk pokok sebagaimana diuraikan di atas, Burgoon juga mengajukan sebelas proposisi yang menjadi landasan teoritisnya.(Burgooon, 1978: 129-142).Proposisi-proposisi ini tidak mengalami perubahan sejak penabalan teori ini pada tahun 1978. Berikut adalah kesebelas proposisi tersebut:

  1. Manusia memiliki dua kebutuhan yang saling berlomba untuk dipenuhi yakni kebutuhan untuk berkumpul atau bersama sama dengan orang lain dan kebutuhan untuk menyendiri (personal space). Kedua kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi secara bersamaan.
  2. Hasrat untuk bergabung dengan orang lain digerakkan atau diperbesar oleh hadirnya ganjaran dalam konteks komunikasi. Ganjaran tersebut dapat bersifat biologis maupun sosial.
  3. Semakin tinggi derajat suatu situasi atau seseorang dianggap menguntungkan (rewarding), semakin besar kecenderungan orang untuk mendekati seseorang atau situasi tersebut. Sebaliknya semakin tinggi sesorang atau suatu situasi dipandang tidak memberikan manfaat semakin besar kecenderungan orang untuk menghindari seseorang atau situasi tersebut.
  4. Manusia memiki kemampuan untuk merasakan gradasi dalam jarak Pola interaksi manusia, termasuk ruang pribadi atau pola jarak, bersifat normatif
  5. Manusia dapat mengembangkan suatu pola tingkah laku yang berbeda dari norma-norma social.
  6. Dalam konteks komunikasi manapun, norma-norma adalah fungsi dari faktor (1) karakteristik orang yang berinteraksi, (2) bentuk dari interaksi itu sendiri dan (3) lingkungan sekitar saat komunikasi berlangsung
  7. Manusia mengembangkan harapan-harapan tertentu pada perilaku komunikasi orang lain. Konsekuensinya tiap orang memiliki kemampuan untuk membedakan atau setidaknya memberikan tanggapan secara berbeda terhadap perilaku komunikasi orang lain yang menyimpang atau sejalan dengan norma-norma sosial.
  8. Penyimpangan dari harapan-harapan yang muncul akan membangkitkan tanggapan tertentu.
  9. Orang-orang yang berinterkasi membuat evaluasi terhadap orang lain.
  10. Penilaian-penilaian yang dilakukan dipengaruhi oleh persepsi terhadap sumber, bila sumber dihormati atau dianggap dapat memberikan ganjaran maka pesan komunikasinya akan dianggap penting pula demikian sebaliknya. (Venus: 2004: 484)

Proposisi pertama sebagaimana dinyatakan diatas menurut Neuliep (2000) dirujuk dari konsep-konsep dasar ilmu Antropologi, sosiologi dan Psikologi yang meyakini bahwa manusia adalah mahluk sosial yang memiliki naluri biologis untuk berdekatan atau hidup bersama orang lain. Sebaliknya manusia tidak bisa mentoleransi kedekatan fisik yang berlebihan karena manusia memiliki kebutuhan terhadap ruang pribadi dan privasi. Meski proposisi pertama ini tampaknya berlaku universal, namun kapan dan bagaimana derajat kebutuhan orang untuk menyendiri atau bersama orang lain sepenuhnya ditentukan secara kultural.

Proposisi kedua mengindikasikan bahwa hubungan kita dengan orang lain dipicu oleh ganjaran dalam konteks komunikasi. Dalam hal ini ganjaran tersebut dapat bersifat biologis (makanan, seks, atau rasa aman) atau sosial (rasa memiliki, harga diri atau status). Kebutuhan biologis dapat dipastikan berlaku universal, namun kebutuhan sosial umumnya dipelajari dari lingkungan dan akan berbeda dari satu budaya ke budaya lain.

Proposisi ketiga pada dasarnya menegaskan proposisi kedua dengan menambahkan bahwa manusia cenderung tertarik pada situasi yang mendatangkan ganjaran dan menghindari situsiasi komunikasi yang mengakibatkan kerugian. Proposisi ini juga tampaknya bersifat universal, namun perlu dicatat bahwa apa yang dianggap sebagai situasi yang menguntungkan atau merugikan akan dipahami secara berlainan dalam budaya yang berbeda.

Proposisi keempat manusia memiliki kemampuan untuk merasakan berbagai bentuk perbedaan dalam penggunaan jarak berkomunikasi. Atas dasar ini tiap individu dapat mengatakan kapan sesorang berbicara terlalu dekat atau terlalu jauh dengan dirinya.

Proposisi kelima terkait dengan penepatan perilaku  yang bersifat normatif Perilaku normatif disini diartikan sebagai perilaku yang umumnya diterima secara sosial dan memiliki pola-pola yang khas.

Proposisi keenam menegaskan bahwa meskipun tiap-tiap individu mengikuti aturan-aturan komunikasi verbal dan  yang normatif, tiap orang juga pada prinsipnya dapat mengembangkan gaya interaksi yang bersifat personal yang khas bagi dirinya sendiri.

Proposisi ketujuh menyatakan bahwa norma-norma komunikasi pada dasarnya merupakan fungsi dari karakteristik pelaku komunikasi (seperti jenis kelamin dan usia), karakteristik interaksi (misalnya derajat keakraban pelaku komunikasi dan status sosial masing-masing), serta karakteristik lingkungan yang meliputi seluruh aspek yang terkait dengan penataan tempat terjadinya peristiwa komunikasi.

Proposisi kedelapan berhubungan dengan unsur kunci teori ini yaitu konsep Ekspektasi. Dalam hal ini Burgon berpendapat bahwa selama proses komunikasi berlangsung pelaku komunikasi mengembangkan harapan­harapan tertentu pada perilaku  orang lain. Siapapun yang menjadi mitra komunikasi kita diharapkan dan diantisipasi berperilaku secara patut sesuai situasi yang dihadapi. Harapan-harapan  tersebut didasarkan pada norma-norma hudaya yang secara sosial berlaku pada suatu budaya tertentu. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu boleh jadi orang berharap munculnya perilaku yang berbeda yang keluar dari norma­norma yang berlaku.

Proposisi kesembilan terkait dengan unsur kunci NEV theory lainnya yakni Pelanggaran Harapan (Expectancy Violations). Sebagaimana dijelaskan di muka, ketika pengharapan  seseorang dilanggar, orang tersebut akan bereaksi dengan cara menafsirkan dan mengevaluasi apakah pelanggaran tersebut menguntungkan atau merugikan. Reaksi yang muncul dapat berupa perilaku komunikasi yang bersifat adaptif atau defensif.

Proposisi kesepuluh berkenaan dengan penilaian-penilaian yang dibuat oleh seseorang terhadap perilaku  orang lain.

Proposisi kesebelas memperjelas bagaimana tindakan evaluatif tersebut dibuat. Dalam hal ini ditegaskan bahwa faktor yang paling menentukan apakah suatu pelanggaran harapan  akan dinilai positif atau negatif adaiah derajat kemampuan komunikator untuk memberikan reward pada mitra komunikasinya atau dalam istilah teori ini disebut Communicator Reward Valence.

Burgoon dan Joseph Walther ( 1990) menguji berbagai touch-behaviors, proxemics, dan postures untuk menentukan mana yang diharapkan atau tak diharapkan di dalam komunikasi antarpribadi dan bagaimana harapan dipengaruhi oleh status sumber, daya pikat, dan gender. Beberapa penemuan menunjukkan bahwa jabatan tangan paling diharapkan sedangkan lengan di bahu adalah paling sedikit diharapkan. Perawakan tegap paling diharapkan dan perawakan yang tegang paling sedikit diharapkan. (Infante, 2003: 179)

Suatu studi dengan memanipulasikan nilai penghargaan dari komunikator dan valensi dan ekstrimitas dari perilaku pelanggaran dilakukan untuk menyelidiki interaksi antara siswa dan professor (Lannutti, Laliker,& Hall, 2001). Suatu skenario diciptakan denmgan menyertakan percakapan siswa dan professor. Suatu studi eksperimen memanipulasikan lokasi sentuhan profesor (tanpa sentuhan, sentuhan di tangan, atau paha), nilai penghargaan untuk profesor ( dari terendah, tidak suka atau dan meremehkan, atau yang tertinggi suka dan menghormati), dan jenis kelamin dari peserta (pria atau wanita). Jenis kelamin profesor juga disesuaikan sedemikian rupa sehingga selalu berlawanan jenis dengan peserta. Evaluasi tentang profesor kemudian diukur. ). (Infante, 2003: 180)

Teori pelanggaran pengharapan  “secara parsial didukung” pada studi ini oleh karena berdasarkan evaluasi peserta wanita, profesor menjadi lebih  negatif ketika keakraban dari sentuhan ditingkatkan. Semakin tak terduga sentuhan, semakin buruk profesor dan interaksi dievaluasi oleh peserta wanita ( Lannutti, Laliker,& Hall, 2001). ). (Infante, 2003: 180)

Referensi:

EM Griffin, At First Look at Communication, US: McGraw Hill.

sumber:

Hallo Every One!

 

 

Laporan Observasi Situasi Sidang kasus KDRT

LAPORAN
OBSERVASI SITUASI SIDANG
SEBAGAI SYARAT UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH SISTEM HUKUM
DOSEN PENGAMPU : WORO TRILASSIWI, SH, M.Kn.

OLEH :
BUDI SETYAWAN
(10410001)

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SLAMET RIYADI
SURAKARTA
2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat tuhan yang maha esa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan LAPORAN OBSERVASI SITUASI SIDANG. Adapun tujuan pembuatan makalah ini untuk syarat ujian akhir semester di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Slamet Riyadi Surakarta Tahun Akademik 2010/2011.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya kami banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat ibu Woro Trilassiwi, SH, M.Kn., selaku dosen pengampu mata kuliah sistem hukum.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu kritik, saran, dan bimbingan yang bersifat membangun kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pada para pembaca yang budiman tentunya.

Surakarta 11 juli 2011

penulis

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. ……….. ii
Kasus kekerasan dalam rumah tangga …………………………………. 1
a. Situasi awal sidang …………………………………………………….. 1
b. Situasi akhir sidang ……………………………………………………. 3
c. Putusan hasil sidang…………………………………………………… 4

ii

KASUS
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Situasi awal sidang

Ketika sidang dimulai Jaksa penuntut umum membacakan duduk perkara yang akan di sidang yaitu sebagai berikut:
1. Pada tanggal 03 Mei 1985, Penggugat dengan Tergugat melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan (Kutipan Akta Nikah Nomor: 787/09/III/1985 tanggal 03 Mei 1985) ;
2. Setelah pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat bertempat tinggal di rumah kediaman bersama di rumah kontrak di Oro-oro Dowo Malang selama 2 tahun kemudian pindah dan bertempat kediaman bersama di rumah sendiri di Banjarsari Surakarta selama 6 tahun lalu pindah lagi dan terakhir bertempat kediaman di rumah sendiri di Desa Kadipiro Kecamatan Banjarsari Kota surakarta selama 13 tahun 1 bulan; Selama pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan dikaruniai 3 orang anak bernama :
a. Eli Rosanti Rahayu, umur 20 tahun
b. Arya Dwi Saputra, umur 17 tahun
c. Tri Andini, umur 12 tahun
3. Kurang lebih sejak bulan Nopember tahun 2005 antara Penggugat dan Tergugat terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga disebabkan antara lain:
a. Tergugat sering cemburu buta menuduh Penggugat ada hubungan dengan laki-laki lain tanpa alasan;
4. Ketika perselisihan dan pertengkaran tersebut terjadi Tergugat sering membentak-bentak Penggugat dengan kata-kata kasar yang menyakitkan hati dan pernah memukul Penggugat
5. Penggugat sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini;

Setelah jaksa penutut umum membacakan duduk perkara yang akan disidangkan maka dibacakan tuntutan penggugat kepada majelis hakim, tuntutannya yaitu sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menceraikan perkawinan Penggugat dengan Tergugat;
3. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat;
4. Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya;
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Penggugat dan Tergugat telah hadir sendiri, kemudian Ketua Majelis telah berupaya mendamaikan para pihak tetapi tidak berhasil, lalu dibacakanlah gugatan Penggugat, yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat;
Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat tersebut, Tergugat telah mengajukan jawaban secara lisan yang pada pokoknya membenarkan dalil-dalil Penggugat dan menyatakan sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan rumah tangganya dengan Penggugat;

B. Suasana diakhir sidang

1. Terlihat penggugat mempertahankan gugatannya dan tergugat menerima dengan tidak keberatan.
2. Keterangan saksi – saksi yang dihadirkan penggugat dinyatakan sah dan tergugat tidak merasa keberatan.
3. Tergugat membenarkan dalil gugatan penggugat maka di nyatakan sebagai fakta tetap.
4. Keterangan saksi membenarkan gugatan penggugat maka semakin menguatkan fakta tentang gugatan.
5. bahwa dari fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan Penggugat dan Tergugat telah pecah dan tidak mungkin dipertahankan lagi karena justru akan menimbulkan beratnya penderitaan dan mudlarat kedua belah pihak, oleh karena itu penyelesaian yang dipandang adil adalah perceraian, sesuai dengan dengan doktrin hukum Islam dalam Kitab Fighus Sunnah jus II, halaman 248 sebagai berikut:
Artinya : Apabila gugatannya telah telah terbukti, baik dengan bukti yang diajukan istri atau dengan pengakuan suami, dan perlakuan suami membuat istri tidak tahan lagi serta hakim tidak berhasil mendamaikan, maka Hakim dapat menceraikannya dengan talak ba’in
6. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka gugatan Penggugat dipandang telah mempunyai cukup alasan dan sesuai pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu dapat dikabulkan;
7. Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, biaya perkara ini dibebankan kepada Penggugat;
8. Mengingat segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum Islam yang bersangkutan;

C. Hasil putusan sidang
Maka putusan hasil sidang perkara KDRT adalah sebagai barikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menjatuhkan talak satu Ba’in Sughro dari Tergugat kepada Penggugat;
3. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara

Demikian hasil laporan observasi sidang yang telah saya lakukan, mungkin masih banyak kekurangan – kekurangan, dengan ini saya mohon kritik san saran yang membangun guna menambah pengetahuan saya tentang sistem hukum.

INFO SEMINAR PENDIDIKAN

Hari kamis tanggal 30 juni 2011, BEM UNISRI adakan seminar pendidikan dengan tema:

pendidikan berkarakter, upaya membangunh generasi cerdas dan berkepribadian unggul

tempat : AUDITORIUM UNISRI

Jam 8’oo s/d Selesai

dengan pembicara

1. H. Hajriyanto y thohari. MM ( Wakil Ketua  MPR-RI)

2. Arya Bima ( anggota DPR-RI Fraksi PDIP )

3. Prof.DR. Furqon Hidayatullah M.Pd. ( Dekan FKIP UNS, Pakar Pendidikan Nasional)

4. Delly Maulana, MPA ( Direktur CSCS, Jakarta )

5. Nia Syarifudin ( Sekjen Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal ika indonesia)

HTM

mahasiswa dan pelajar : Rp 20.000,-

umum : Rp 30.000,-

untuk pendaftaraan

ketik SMS

mahasiswa

DAFTAR<spasi>Nama<spasi>Fakultas/Prodi<spasi>Asal Univ

Umum

DAFTAR<spasi>Nama<spasi>Asal Instansi/ Umum<spasi>alamat

KIRIM KE

085642407610 ( sdri. Eky Pujiastuti )

0857643338641 (Sdr. Edi Miranto )

ayo cepet daftar……Kuota Terbatas…